Kota
Surabaya mendapat julukan sebagai Kota Pahlawan. Menjadi istimewa,
karena hanya Surabaya saja yang mendapatkannya. Banyak kota lain di
negeri ini yang memiliki sejarah kepahlawanan tak kalah hebat dari
Surabaya. Namun julukan sebagai Kota Pahlawan hanya untuk Surabaya.
Beberapa nama dan peninggalannya yang masih bisa ditemukan oleh Surabaya
City Guide, di antaranya sejarah rumah WR. Soepratman, rumah lahir Bung
Karno, Grdung Nasional Indonesia (GNI) simbol dari Bapak Pergerakan
Indonesia, Dr. Raden Soetomo, rumah HOS Cokroaminoto. Dan sebuah kampung
bersejarah bernama Kalimas Udik, di sini tinggal KH. Mas Mansur,
seorang tokoh islam dan pahlawan nasional Indonesia.
Sejarah Pergerakan di Bubutan
Perjuangan putra bangsa bisa dikenang mulai dari Bubutan. Menerawang
sejarah dari bangunan yang tersisa. Gedung Nasional Indonesia (GNI)
Surabaya masih berdiri tegar di jalan Bubutan. Tak jauh dari Tugu
Pahlawan dan Jembatan Merah, yang juga merupakan simbol perjuangan.
Bangunan GNI ini juga menjadi saksi sejarah perjalanan bangsa ini.
Berdiri di jantung kota, menjadi sentra pergerakan pemuda di masa
perjuangan. Pemerintah Kota Surabaya meresmikan gedung ini sebagai Cagar
Budaya kota.
Dalam komplek gedung terdapat makam Bapak Pergerakan Nasional Indonesia, Dr. Raden Soetomo, yang hidup sepanjang 1888-1938.
Sekilas sejarah tentang perjuangan dan peran gedung yang berada di jalan
Bubutan ini. Pada tahun 1938, gerakan perjuangan rakyat terpelajar di
Surabaya berpusat di GNI ini. Selain Soetomo, tokoh yang populer saat
itu adalah RPSoenario Gondokoesoemo, RMH Soejono, R. Soendjoto, dan
Achmad Djais. Sebagai pusat perjuangan, GNI yang dikomandoi Soetomo
kerap berkomunikasi dengan Soekarno di Bandung dan Husni Thamrin di
Jakarta. Tiga tokoh ini kemudian populer dengan sebutan Tri Tunggal.
Selain pendapa, di komplek GNI juga berdiri gedung, yang pada jaman
dahulu dijadikan sebagai barak BKR (Badan Ketahanan Rakyat), kini
berfungsi sebagai kantor PMI Cabang Bubutan. Dan rumah-rumah yang kini
masih berdiri di jalan Bubutan Kulon, konon dikgunakan Soetomo untuk
menampung warga yang tidak mampu pada tahun 1930 –an.
Jejak Soekarno di Surabaya
Nama
Soekarno sebagai Bapak Bangsa, sudah jamak dikenal. Dalam catatan
sejarah, Soekarno pun meninggalkan jejak perjuangannya di Surabaya.
Beliau sempat menetap di Surabaya, indekos atau lebih dikenal dengan
istilah mondok di rumah milik HOS. Cokroaminoto. Rumah tersebut hingga
kini masih berdiri, tepatnya di Jalan Peneleh VII/29-31.
Pada bangunan yang resmi dijadikan sebagai bangunan cagar budaya itu,
sangat kental aksen bangunan peninggalam masa lalu. Dinding tebal, kusen
pintu dan jendela yang terkesan kokoh, belum lagi bila melongok ke
ruangan luas berlantai kayu yang berada di lantai dua yang konon kerap
digunakan Soekarno dalam menimba ilmu dari HOS Cokroaminoto.
Dalam kaitan Soekarno dan Surabaya, ada yang menyebutkan Pemimpin
Revolusi itu lahir di Kota Surabaya. Diyakini rumah di Jalan Pandean
Gang 4 no. 40 adalah rumah lahir Soekarno. Walau untuk membuktikan
kebenarannya masih butuh waktu.
Rumah Sejarah HOS Cokroaminoto
Raden
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Cokroaminoto dikenal sebagai
tokoh nasional dan populer sebagai Pemimpin Sarekat Islam yaitu
organisasi politik pertama di negeri ini. Secara pribadi peran
Cokroaminoto bagi berdirinya negeri ini, sangat berpengaruh. Beliau
adalah guru dari beberapa tokoh pergerakan di negeri ini. Sebut saja,
Soekarno, Kartosuwirjo, Semaoen, Muso, Alimin, dan banyak lagi.
Sekilas tetang bangunan bersejarah peninggalan Cokroaminoto, setelah
beberapa kali berganti kepemilikan, akhirnya rumah di jalan Peneleh Gang
III itu menjadi miliknya. Rumah ini tak hanya berfungsi sebagai rumah
tinggal, namun oleh Cokroaminoto dan istri dijadikan rumah indekos bagi
para pelajar Hogere Burgerlijks School (HBS). Dalam perjalanannya rumah
ini juga berfungsi menjadi pondok pesantren kecil. Dan mereka tidak
sekedar belajar ilmu agama, tetapi juga mengembangkan kemampuan
berpolitik.
Di rumah ini juga tersimpan berbagai koleksi barang-barang antik
peninggalan Cokroaminoto. Beberapa masih utuh, beberapa lainnya sudah
diduplikasi, karena lapuk dimakan jaman.
Kenangan WR. Supratman
Sebuah
rumah yang berdiri di Jalan Mangga No. 21, Kelurahan Tambaksari, satu
di antaranya. Di sinilah seorang Wage Rudolf Supratman pernah tinggal.
Rumah yang kini difungsikan sebagai museum mini oleh para ahli warisnya,
kini dikelola oleh Lembaga Pengkajian "Kota Pahlawan." Di rumah ini
pula, konon Supratman menjadi lebih produktif dalam mencipta lagu-lagu.
Walaupun penciptaannya kala itu masih berdasar pesanan dari beberpa
rekan seperjuangan, seperti Dr. Soetomo dan Pak. Doho.
Kabarnya, di rumah ini pula menjadi saksi dari aksi akhir proses
penciptaan lagu terakhirnya yang baru tergores sebagai syair yang
berjudul 'Selamat Tinggal'. Lembaran kertas itu menjadi sisa sejarah
yang masih tersimpan rapi. Sayang, Biola kebanggaan Supratman tidak bisa
dijumpai di sini, konon disimpan di Museum Sumpah Pemuda, di Jakarta.
Peran WR. Supratman dalam perjuangan kebangsaan Indonesia Raya mencapai
kemerdekaan, semua orang tahu. bukan sekedar pencipta lagu kebangsaan
Indonesia Raya. Sebagai tokoh pemuda pergerakan Supratman sangat aktif
terlibat pada fase perjuangan pergerakan, terutama ketika dia pindah ke
Batavia, sekarang Jakarta.
Tokoh Islam KH. Mas Mansyur
Mungkin
belum banyak yang tahu, tentang peninggalan kediaman KH. Mas Mansyur.
Seorang tokoh Islam, pahlawan nasional, dan mantan ketua pengurus besar
Muhammadiyah. Kampung Kalimas Udik, adalah kawasan yang sangat kental
dengan suasana religi Islami. Pengakuan Suciati, sumber Majalah SCG,
menyebutkan bahwa bangunan rumah di depan kediamannya itu adalah rumah
tinggal KH. Mas Mansyur. Barang-barang peninggalan Mas Mansyur, seperti
buku, foto-foto, dan lainnya, sayangnya sudah tidak diketahui.
Adanya pondok pesantren dan kedua rumah kuno itu merupakan bukti cukup
sebagai jejak kehidupan Mas Mansyur di Surabaya. Konon, Soekarno sering
mendatangi rumah beliau, untuk kemudian berziarah bersama ke makam Sunan
Ampel. Mas Mansyur mengenal Soekarno muda saat bersama-sama mengikuti
tabligh di daerah Peneleh oleh KH. Ahmad Dahlan.
Mas Mansyur adalah satu dari empat orang tokoh nasional yang
diperhitungkan, yang terkenal dengan sebutan Empat Serangkai. Yaitu;
Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mas Mansyur.
Lebih lengkap tentang tulisan Jejak Pahlawan di Surabaya, bisa di dapat
di www.surabayacityguide.com, atau di Majalah Surabaya City Guide (SCG)
edisi Agustus 2013.
Monday, November 4, 2013
Jejak Pahlawan di Surabaya
9:19 AM
PT Equityworld Futures Surabaya
No comments
0 comments:
Post a Comment