Menyambut tahun baru Islam, tepatnya 1 Muharam, Paguyuban Ki Sapu Jagad
yang beranggotakan mayoritas masyarakat keturunan Jawa di Kota
Sawahlunto, Sumatera Barat, menggelar Grebeg Suro, Senin 4 November
2013. Acara ini dimeriahkan dengan pawai budaya disertai ritual-ritual
kusus dalam pembuatan bahan pawai.
Pawai akan digelar di Kota
Sawahlunto mulai dari pukul 10.00 WIB hingga malam hari. Dalam pawai ini
ada arak-arakan ondel berpakaian adat Minangkabau, Manten Sunatan,
Sepeda Ontel. Sepeda ontel akan dikayuh oleh orang yang berpakaian tempo
dulu. Pawai ini akan diiringi musik tradisional dan Kuda Kepang.
Selain
itu, ada tiga unsur yang wajib ada dalam pawai Grebek Suro ini yaitu
Nasi Tumpeng, Gunungan Buah dan Ingkung. Nasi tumpeng dibuat setinggi
satu meter. Kemudian Gunungan buah setinggi tiga meter dan Ingkung satu
ekor ayam utuh.
“Tumpeng, gunungan buah dan Ingkung tidak
sembarang buat. Ada ritual kusus pada malam hari sebelum pawai,” kata
Iwan, Ketua Paguyuban kepada VIVAnews.com, Senin 4 November 2013.
Ritual
kusus yang dimaksud misalnya nasi tumpeng harus dicuci dengan air dari
tujuh masjid. Kemudian Gunungan buah harus dimulai dengan zikir dan doa
bersama. Dua jenis bahan pawai itu membutuhkan waktu semalam suntuk
untuk menyelesaikannya. Sedangkan Ingkung juga melewati doa tersendiri
dari ketua Paguyuban.
“Ini tidak sebatas acara pariwisata, tapi jauh dari itu mengandung nilai ibadah,” ujar Iwan.
Pawai
akan dimulai dari Kantor Camat Lembah Segar melewati rute Pasar,
Lapangan Segitiga dan berakhir di Lapangan Silo. Di sini, Gunungan Buah
dan Tumpeng akan dibagikan kepada warga sebagai rasa sukur atas nikmat
yang diberikan sang pencipta.
Di lokasi perebutan Gunung buah
ada pameran masakan tradisional yang masih bertahan sejak berabad-abad
silam. Acara akan dilanjutkan dengan penampilan berbagai kesenian
tradisi hingga malam seperti Keroncong, Gamaik dan lainnya.
Kegiatan
ini merupakan yang ketiga kalinya digelar oleh paguyuban Ki Sapu Jagad.
Paguyuban ini tidak hanya beranggotakan keturunan Jawa. Tapi juga ada
masyarakat keturunan Minangkabau. “Semoga dengan adanya acara ini,
memberi kontribusi pada perkembangan dunia pariwisata Kota Sawahlunto,” kata Iwan.
Pawai Obor di Depok
Tahun
baru Islam 1435 Hijriah juga dirayakan ratusan bocah di Depok. Mereka
menggelar pawai obor dengan berjalan kaki menyusuri sejumlah ruas jalan
di kota tersebut, Senin 4 November 2013.
Haji Isnan Raseukiy,
salah satu panitia acara, mengatakan, acara ini adalah agenda rutin yang
digelar tiap tahun. Tujuannya, ialah memupuk kecintaan para generasi
bangsa untuk lebih mengenal hari besar Islam.
"Banyak anak yang
belum paham dan belum tahu betul tentang tahun baru Islam. Dari sinilah
kami mengajak mereka untuk lebih mengenal dan mendalami ajaran Islam.
Selain untuk menyemarakkan tahun baru Islam, acara ini juga untuk
mempertebal iman," tutur pengurus PAUD Bunga Cendikia itu pada wartawan.
Ketua
Front Pembela Islam Depok Habib Idrus Al Gadri mengatakan, untuk tahun
baru Islam kali ini pihaknya tidak akan melakukan konvoi. Namun
demikian, lanjut Idrus, FPI akan terus memantau dan ikut mengawasi
ancaman gangguan sosial yang ada.
"Tahun ini kami pengajian saja,
enggak ada konvoi. Namun kami tetap akan mengawasi warung dan
tempat-tempat yang menyediakan minuman keras. Jika masih ada, ya akan
kami laporkan ke pihak kepolisian," kata Idrus.
Maheso Suro
Sementara
itu, warga di Kawasan Pantai Samas, Desa Srigading, Kecamatan Sanden,
Kabupaten Bantul, DIY, menggelar ritual Maheso Suro. Ritual mengarah
Maheso Suro ini telah dilakukan bertahun-tahun setiap malam 1 Muharam
atau Tahun Baru Islam.
Ritual kirab Maheso Suro ini untuk
mengenang Maheso Suro yang dipercaya telah mendatangkan kemakmuran warga
di pesisir pantai selatan tersebut.
Satu Suro adalah awal bulan
pertama Tahun Baru Jawa, bertepatan dengan 1 Muharam. Kalender Jawa
pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo
1940 tahun yang lalu, mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).
Malam
hari menyambut datangnya tanggal 1 Muharam atau 4 November 2013
(malam), masyarakat di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar prosesi Kirab
Tumuruning Maheso Suro yang dimulai pukul 21. 00 WIB.
Dwi
Raharjo, Kepala Desa Srigading, menceritakan, dahulu warga Samas dilanda
paceklik, tanaman pertanian tidak bisa tumbuh subur. Warga desa
selanjutnya memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Beberapa
waktu kemudian warga Samas dikejutkan dengan munculnya seekor kerbau
berwarna hitam kelam. Kerbau itu oleh perangkat desa kemudian ditangkap
dan dipelihara bersama kerbau-kerbau lokal.
Anehnya, setiap kali kerbau tiban itu
merusak sawah ladang yang dilewatinya, tanaman di atas tanah-tanah itu
justru tumbuh subur. Setelah beranak pinak, mahesa yang muncul pertama
kali di Bulan Suro itu pun menghilang entah ke mana.
Karena itu,
masyarakat Samas, Srigading selalu mengenang datangnya kerbau hitam itu
dengan menggelar ritual Kirab Tumuruning Maheso Suro sejak tahun 1910.
"Masyarakat Pantai Samas, memperingati tumuruning Mahesa Suro sebagai
lambang kemakmuran," katanya, Selasa 4 November 2013.
Prosesi kirab Tumuruning Maheso Suro ini diawali dari rumah Dwi Raharjo. Umba rampe berupa kerbau, jodang yang
berisi aneka makanan (tumpeng) dan buah-buahan, gunungan yang berisi
hasil bumi dikirab menuju Pantai Samas yang jaraknya sekitar 1
kilometer.
Setelah tiba di Pantai Samas, uba rampe yang
dikirap warga, oleh Mbah Karyono kaum rois setempat didoakan. Namun
sebelum didoakan oleh kaum, 4 orang aliran kejawen yaitu Jumbido,
Kamijan, Kaswiyo, Wirosojo juga melakukaan doa dengan membakar kemenyan.
Usai didoakan uba rambe berupa gunungan dan makanan diperbutkan warga, sedangkan kerbau mahesa suro dilarung ke laut.
Tuesday, November 5, 2013
Grebeg 1 Suro Juga Ada di Sawahlunto
12:37 PM
PT Equityworld Futures Surabaya
No comments
0 comments:
Post a Comment