Manoa : Bumi yang menua dan makin rusak sedang bergegas menuju masa depannya yang apokaliptik: pola kehidupan manusia yang tak lagi ajeg, krisis kemanusiaan, kultur yang tercerabut, jutaan spesies yang terancam punah.
Sejumlah kota besar dunia seperti New York dan London bahkan
diperkirakan tak lagi bisa dihuni, dalam 45 tahun ke depan. Demikian
menurut studi terbaru yang diterbitkan di jurnal ilmiah, Nature, pekan ini.
Semua itu akibat perubahan iklim ekstrem yang disebabkan ulah manusia sendiri.
Skenario
'kiamat' itu tak akan terjadi dalam waktu lama. Itu mungkin diawali
dekade ini di wilayah Indonesia. Menurut perkiraan ilmuwan University
Hawaii, tepatnya adalah di Manokwari, Papua Barat. Lalu menjalar ke
semua bagian dunia -- pada pertengahan abad.
Ilmuwan memprediksi, Manokwari yang jadi episentrum pemanasan global akan mengalami lonjakan temperatur pada 2020.
Dan
sementara jam menuju 'kiamat' terus berdetak, para peneliti mengatakan,
sudah terlambat untuk mencegahnya. Manusia kini harus siap-siap,
menghadapi perubahan drastis, tahun-tahun yang dingin belakangan akan
makin panas, bahkan menjadi yang terpanas.
Para ahli dari
University Hawaii, Manoa, mengatakan, meski kita mengerahkan segala daya
dan upaya untuk menghentikan atau mengurangi emisi gas rumah kaca,
perubahan tak lagi bisa dielakkan, kita hanya mampu menundanya, hingga
sekitar 2069.
"Kita sudah terbiasa dengan iklim di daerah di mana
kita tinggal. Dengan perubahan iklim ini, apa yang pasti terjadi
adalah, kita akan segera meninggalkan zona nyaman," kata ahli biologi,
Camilo Mora, pimpinan studi seperti dikabarkan NBC News, Kamis (10/10/2013). "Akan menjadi kondisi tak nyaman bagi kita, manusia, juga semua spesies."
Mora
dan para koleganya menggunakan koleksi model iklim global untuk membuat
indeks yang memperkirakan titik-titik mana di dunia yang mengalami
perubahan di luar norma-norma variabilitas antara tahun 1860 dan 2005.
"Rata-rata,
wilayah tropis akan mengalami perubahan iklim yang tak terprediksi 16
tahun lebih dulu daripada wilayah dunia lainnya," kata Mora. Diawali
paling cepat 2020 di Manokwari, Indonesia.
Hitung-hitungan di
atas kertas, jika manusia terus menggunakan bahan bakar fosil, seperti
yang terjadi saat ini, ambang batas global adalah sekitar 2047. Santo
Domingo di Republik Dominika ambang batasnya 2026, Paris 2054, dan
Austin, Texas pada 2058. Jika gas rumah kaca berhasil distabilkan,
perkiraan waktu itu hanya bisa ditunda hanya dalam hitungan dekade.
Kota
New York diperkirakan akan menghadapi perubahan suhu yang dramatis pada
2047, Los Angeles pada 2048, dan London 2056. Hanya jika emisi gas
rumah kaca bisa distabilkan, New York masih bisa dihuni sampai 2072 dan
London sampai 2088.
3 Pilihan
Menurut
tim Mora, selama rezim perubahan iklim baru masih tertunda, ada 3
pilhan yang bisa diambil: pindah ke lokasi yang lebih sesuai atau tetap
di sana dan beradaptasi. Jika tidak, pilihan ketiga adalah kepunahan.
"Hal
yang sama terjadi pada manusia. Namun lebih rumit. "Kita punya batas
politik yang tak bisa dilintasi dengan mudah. Seperti orang di Meksiko
-- jika iklim menggila di sana, tak bisa mereka dengan mudah ke AS,"
kata Mora.
Tergantung pada skenario mitigasi, pada 2050 antara 1
miliar dan 5 miliar orang akan tinggal di daerah dengan iklim yang
sangat tak menentu. Demikian ungkap penulis lain, Ryan Longman.
"Negara
pertama merasakan dampak perubahan iklim yang tak menentu adalah yang
secara ekonomi tak punya kapasitas untuk merespons," kata dia.
Ironisnya, negara-negara yang paling bertanggung jawab -- negara maju --
baru belakangan merasakannya.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Menurut
Roger Pielke Jr, analis perubabahan iklim dari University of Colorado,
Boulder mengatakan, mengambil kebijakan sekonyong-konyong menyusul
peringatan dari ilmuwan, adalah tidak tepat.
"Lebih baik
mendesain kebijakan yang punya manfaat jangka pendek seperti pekerjaan,
akses energi, dan mengurangi polusi -- yang juga dapat mengatasi
tantangan jangka panjang yakni akumulasi karbondioksida di atmosfer,"
kata dia. Bukan menakut-nakuti publik.
Poros Baru: Wilayah Tropis
Penelitian
yang diungkap Mora dan rekan-rekannya diakui sebagai poros baru
bagaimana cara ilmuwan iklim berfokus pada variabilitas iklim daripada
perubahan mutlak, misalnya, dengan menggeser perhatian mereka dari Kutub
Utara yang terpencil dan para beruang kutubnya ke wilayah tropis -- di
mana manusia lebih banyak tinggal.
Meski iklim memanas dengan
cepat di kutub dengan efek yang besar, namun, pemanasan, meski hanya
beberapa derajat, akan mengganggu keseimbangan kehidupan, membuat panen
gagal, berakibat pada jutaan bahkan miliaran orang.
"Pemanasan di
tropis mungkin tak seberapa (dibanding di kutub), namun dampaknya akan
segera terlihat, menghancurkan spesies, juga manusia," kata Stuart Pimm,
ahli biologi konservasi di Duke University, yang tidak terlibat dengan
studi terbaru, namun akrab dengan topiknya.
Sementara, ilmuwan
lain skeptis dengan presisi angka tahun yang diperkirakan tim Mora. Dan
dari mana mereka berasal. Salah satunya yang mempertanyakan adalah Eric
Post, ahli biologi dari Penn State University.
Namun, ia
mengatakan, metodologi itu dapat meningkatkan pemahaman tentang peran
perubahan iklim atas punahnya keanekaragaman hayati, terutama di tataran
regional.
"Jika penilaian Mora terbukti akurat, para praktisi
konservasi bisa mengambil pelajaran -- laju perubahan ikllim kini tak
lagu dimulai, tapi sudah ditetapkan, garis finish-nya adalah ancaman
kepunahan yang terdekat di daerah tropis," kata dia. (Ein/Yus)
Friday, October 11, 2013
Skenario `Kiamat` Baru, Suhu Bumi Naik Dimulai dari Manokwari
10:29 AM
PT Equityworld Futures Surabaya
No comments
Oleh Elin Yunita Kristanti
Posted: 10/10/2013 14:09
0 comments:
Post a Comment