Pagi hari, 4 September 2013, di Wenzhou, kota kecil di Provinsi Zhejiang,
di sudut tenggara Republik China. Pancaran sinar matahari pagi menembus
hiruk pikuk pasar tradisional.
Serombongan kecil peneliti
serius mengamati sejumlah unggas yang ada di situ—ayam, bebek, dan
angsa. Mereka ilmuwan dari University of Hong Kong. Mengenakan sarung
tangan dan masker, sejak Mei lalu mereka dengan tekun mengumpulkan
berbagai sampel unggas, langsung dari lapangan.
Rupanya,
penelitian yang sedang mereka lakukan bukan sembarang riset. Ini
penelitian mahaserius. Mereka berupaya mengamati penyebaran virus flu
burung H7N9, yang telah merenggut setidaknya nyawa 44 warga China.
Dan, ancaman wabah gawat ini masih terus mengintip. Sampai sekarang.
Hampir
tiap pekan, para ilmuwan yang berjumlah 30 orang itu belusukan ke
pasar-pasar unggas, lalu pulang ke Hong Kong bersama sampel yang mereka
kumpulkan untuk diamati di lab kampus.
Sudah empat bulan riset
berlangsung, tapi empat pekan lalu, tiba-tiba terjadi satu hal yang luar
biasa. Kegelisahan memancar di wajah Profesor Guan Yi, kepala proyek
riset ini. Dahinya berkerut.
Di ruang labnya, profesor itu
seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat melalui mikroskop. Sorot
mata Profesor Yi tak lepas dari objek di belakang lensa. Sesekali dia
memutar-mutar cincin di badan mikroskop, lantas mencorat-coret secarik
kertas. Ia melakukan itu berulang kali.
"Beberapa sampel dari
pasar unggas di Wenzhou menunjukkan bibit spesies influenza A yang lain,
bukan H7N9," ujar sang profesor kepada M. Chandrataruna dari VIVAnews melalui
surat elektronik, Kamis 29 Agustus 2013. "Ini jelas berbeda dari sampel
lainnya. Ini virus H7N7. Lebih mematikan dari H7N9."
H7N7.
Varian baru virus flu burung ini secara tak sengaja ditemukan di lab
Profesor Yi. Tak sengaja, karena semula Profesor Yi dan timnya cuma
berniat meneliti penyebaran H7N9, virus flu burung yang selama ini luas
dikenal.
Sontak saja, hasil penelitian mereka yang diterbitkan di Jurnal Nature menyita perhatian dunia. H7N7 diyakini merupakan ancaman serius bagi kehidupan manusia.
Memburu virus H7
Di
jagat biologi, H7N7 merupakan sub-tipe dari virus influenza tipe A, gen
dari Orthomyxovirus, yang juga salah satu jenis flu burung yang ganas.
Seperti virus-virus H7 lain, secara medis tipe virus ini dianggap sangat
mematikan lantaran sebagian besar manusia tak mempunyai antibodi yang
mampu membendung serangannya.
Melihat gejala gawat ini, Profesor
Yi terus bergerak. Dia terus melakukan penelitian untuk memantau
perkembangan protein virus pada unggas, terlebih sejak H7N9 menghabisi
puluhan nyawa di China.
Dia berinisiatif membentuk tim riset
internasional untuk mengoleksi sampel dari ayam, bebek, angsa, merpati,
ayam hutan dan burung puyuh di pasar-pasar unggas hidup yang menyebar di
seantero China. Sampling dilakukan dengan menyisir pasar-pasar unggas
besar, mulai dari Provinsi Shandong dan Zhejiang di bagian selatan China
hingga Shanghai dan Guangdong.
Profesor Yi bahkan mulai
bereksperimen dengan mamalia, karena varian virus ini diyakini
berpotensi mengancam manusia. Virus itu mereka tularkan ke beberapa ekor
musang. Hasilnya, sesuai yang mereka prediksi, musang-musang itu lalu
menunjukkan gejala flu berat, mengalami sesak nafas karena radang akut
menginfeksi saluran pernafasan mereka, dan tak lama kemudian mati.
"Virus
ini sangat berbahaya. Saat diamati, H7N7 tidak merepilkasi diri seperti
pada H7N9. Tapi, ketika mulai menjangkiti musang, dampaknya jauh lebih
ganas daripada H7N9. Jadi, bisa dibayangkan jika virus ini sampai
menjangkiti manusia, niscaya akan memakan banyak korban jiwa," ucap Guan
kepada VIVAnews.
"Laporan eksperimen itu langsung kami
kirimkan ke pemerintah setempat. Mereka langsung memusnahkan semua
unggas di Wenzhou tanpa terkecuali. Ratusan pasar unggas ditutup selama
tiga-empat minggu terakhir. Kami ingin melihat apakah upaya ini bisa
menghentikan penyebaran virus itu atau tidak."
Dalam artikelnya di Jurnal Nature, Guan Yi mewanti-wanti otoritas kesehatan China untuk mewaspadai kemunculan wabah pandemik baru.
"Saya
kira WHO (World Health Organization) belum turun tangan dalam kasus
virus H7N7 ini. Mereka memang melakukan riset dan investigasi pada virus
H7N9, tapi belum sampai pada H7N7. Saya pasti akan diberitahu jika
mereka mulai terlibat," ujar pria berkacamata itu.
Dalam kasus
H7N9, badan kesehatan dunia itu mencatat 135 orang tertular virus ini;
di mana 44 di antaranya meninggal dunia. Semuanya ada di wilayah China.
Cikal bakal
Nama H7N7 muncul berdasarkan kadar protein pada permukaan virus. Huruf H berasal dari hemagglutinin, yaitu zat yang menyebabkan sel darah merah menggumpal. Sementara N dari kata neuraminidase,
protein yang ditemukan di permukaan virus. Protein itu, kata Profesor
Yi, dapat berubah-ubah seiring mereka bertransmisi dari spesies satu ke
lainnya.
Ia mencontohkan migrasi virus H7N9 ke unggas di China.
Tes genetik menunjukkan virus itu mulanya dibawa unggas air dari Asia
Timur. Di China, virus itu "melompat" ke bebek lokal, baru kemudian
menulari ayam, dan dengan mudah menginfeksi manusia.
Sambil
berpindah, virus H7N9 itu terus melakukan mutasi, melahirkan virus baru,
karena bertukar gen dengan jenis virus influenza lain. Akibatnya,
perubahan kadar protein virus flu yang berpindah mampu mengikat sel-sel
di saluran pernafasan atas pada unggas.
Diduga, begitu pula
proses yang akan terjadi pada H7N7. Virus ini adalah mutan dari H7 dan
N7. Hanya saja profilnya lebih kuat dan lebih mematikan dari H7N9. "Jika
sampai menginfeksi manusia, H7N7 akan menyebabkan pandemik, bisa
membunuh banyak orang," Profesor Guan mewanti-wanti. "Virus ini tidak
menular lewat udara. Virus mengendap di dalam usus burung, ayam, dan
unggas lain. Ketika virus menginfeksi saluran pernafasannya, manusia
jadi mudah tertular. Dimulai dari mereka yang sering berhubungan dengan
hewan itu, lalu menular melalui interaksi antar manusia."
Dan
China sangat potensial menjadi sumber penyebaran virus mematikan ini ke
seluruh penjuru dunia. Selama ini kasus manusia terinfeksi virus flu
burung kerap muncul pertama kali di negeri ini. Soalnya, negara dengan
jumlah penduduk terbanyak ini adalah pemasok unggas terbesar. Menurut Livescience, hampir 65 persen bebek-konsumsi berasal dari Negeri Tirai Bambu.
Lahir di Belanda
Toh
demikian, H7N7 bukan muncul pertama kali di China. Di tahun 2003,
varian virus ini sempat ditemukenali ilmuwan di Belanda, tepatnya di
sebuah peternakan unggas di Voorthuizen, Belanda bagian tengah.
Dilaporkan BBC, hingga tahun 2005, 89 orang terinfeksi dan satu orang meninggal dunia.
Berita
ini sempat mendunia. Salah satu yang mendengar kabar itu adalah Wakil
Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti. "Ada kejadian luar biasa di
Belanda. Di sana virus H7N7 cukup banyak memakan korban, termasuk para
ahli peternakan," tutur Ali Ghufron, dalam wawancara khusus dengan
reporter VIVAnews Tommy Adi Wibowo di kantornya, 28 Agustus 2013.
Pada
tahun 2006, virus H7N7 patogenik rendah lagi-lagi ditemukan di salah
satu peternakan di Voorthuizen. Sebagai upaya pencegahan, pemerintah
setempat langsung memusnahkan lebih dari 25 ribu ekor ayam di kota itu.
Selang
dua tahun kemudian, virus H7N7 patogenik tinggi malah ditemukan di
Shenington, Inggris. Diduga, virus ini berasal dari patogen yang sudah
ada sebelumnya. Akibat virus ini, kematian unggas di kota itu meningkat
2,5 persen.
Tak ketinggalan, Spanyol juga pernah terjangkit
virus ini. Pada Oktober 2009, H7N7 menyergap sebuah peternakan di
Almoguera, Guadalajara, Spanyol. Ketika itu, Hong Kong langsung menyetop
impor unggas dari negara terbesar di Eropa Barat itu, meski kualitas
daging unggasnya tersohor nomor satu.
Membentengi Indonesia
Untungnya,
H7N7 belum pernah mampir ke Tanah Air (atau jangan-jangan tidak
terdeteksi). "Tidak ada laporan mengenai kasus H7N7 menjangkiti unggas
di Indonesia. Masyarakat tidak perlu panik. Kami tidak akan tinggal
diam. Kami sadar H7N7 termasuk virus flu burung yang memiliki potensi
menular yang sangat tinggi, sehingga perlu perhatian serius," Ali
Ghufron memastikan.
Senada dengan Ali Ghufron, catatan
Kementerian Pertanian pun menyatakan belum ada laporan adanya infeksi
H7N7 di Indonesia, baik pada unggas maupun pada manusia.
"Indonesia
mempersiapkan diri untuk ancaman seperti ini, termasuk seperti pada
kejadian H7N9 lalu di China, dan ancaman-ancaman serupa baik dari dalam
maupun luar negeri," ungkap Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan, kepada VIVAnews, Kamis 29 Agustus 2013.
"Dari
sisi kesehatan, kami sudah memperkuat kesiapsiagaan dari segala lini
untuk menghadapi masuknya H7N9 dan MERS-CoV. Kurang lebih gejala yang
ditimbulkan akibat infeksi virus H7N7 sama dengan influenza lainnya, dan
sistem surveilans kami cukup sensitif untuk mendeteksinya."
Menurut
hemat Profesor Tjandra, H7N7 kemungkinan menyusup ke Indonesia melalui
unggas, baik melalui perdagangan dan produk unggas dari negara yang
tertular, atau melalui migrasi burung liar.
Untuk
mengantisipasinya, Kementerian Kesehatan sudah mencanangkan strategi
khusus; bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan, dan kementerian terkait lainnya.
"Untuk membatasi penyebaran, kami akan mengoptimalkan sistem surveilans rutin, surveilans Influenza Like Illnesses (ILI) dan surveilans terhadap penyakit saluran pernafasan berat atau severe acute respiratory infections
(SARI). Ini untuk mendeteksi kasus secara dini dan melakukan respons
yang sesuai," kata Tjandra. "Selain itu, kami juga memperkuat sistem
deteksi dini di pintu-pintu masuk negara, baik itu laut, darat, dan
udara."
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Chairul Anwar
Nidom, Ketua Avian Influenza Research Center (Pusat Riset Flu Burung)
Universitas Airlangga menyarankan, "Virus flu burung sangat berpotensi
menular ketika masuk ke batang hidung, karena di situ tempat mereka
hidup dan berkembang biak. Virus H7N7 juga berpotensi menular dari
manusia ke manusia, karena virus ini mudah beradaptasi dengan
lingkungan. Jadi, alangkah baiknya jika mulai memakai masker sejak
sekarang." (kd)
Wednesday, September 4, 2013
H7N7: Pembunuh Baru Manusia Varian flu burung baru ini lebih ganas dari virus H7N9. Dan mematikan.
8:31 AM
PT Equityworld Futures Surabaya
No comments
0 comments:
Post a Comment