Gandrung Sewu/Ardian Fanani
Equityworld Futures : Banyuwangi - Festival Gandrung Sewu
Episode Gandrung Seblang Subuh 2014 kembali menyedot perhatian. Ribuan
masyarakat Banyuwangi berdesakan menyaksikan pagelaran kolosal yang
digelar di Pantai Boom, Banyuwangi.Bahkan pagar pembatas di belakang panggung undangan VIP jebol, diterjang penonton yang ingin mendekat untuk melihat kecantikan 1200 penari.
Acara dimulai tepat pukul 15.00 Wib. Sebelum acara gandrung berlangsung, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyerahkan piagam penetapan 'Gandrung sebagai Warisan Budaya Tak Benda' dari Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah kepada Dewan Kesenian Blambangan (DKB) mewakili masyarakat Banyuwangi.
"Ini ikhtiar kita terus menjaga seni dan budaya Banyuwangi. Gandrung Sewu saat ini sudah dikenal sebagai kegiatan spektakuler dunia. Kita akan pertahankan dan terus kita selenggarakan," jelas Bupati Anas kepada detikcom, Sabtu (29/11/2014).
Menurut Bupati Anas, Gandrung Sewu bukan hanya pagelaran kolosal saja, namun juga sebagai makna bagian dari konsolidasi budaya bagaimana anak-anak muda terlibat langsung dalam kegiatan ini.
"Dan ini dipastikan menimbulkan rasa cinta kepada budaya asli Banyuwangi. Sambutan masyarakat luar biasa, mereka rela jalan 1 kilometer untuk melihat gandrung," pungkas Bupati Anas.
Pertunjukan kolosal ini diawali dengan munculnya beberapa pria yang membawa penjor. Mereka adalah mantan prajurit-prajurit Blambangan yang tengah berusaha mengumpulkan rekan-rekan seperjuangannya di masa lalu.
Setelah terkumpul beberapa orang, mereka menasbihkan diri sebagai Gandrung Marsan (Gandrung laki-laki). Kemunculan Gandrung Marsan ini tepat pada masa pemerintahan bupati ke-5 Banyuwangi, yakni Bupati Pringgokusumo.
Pada awalnya, penari Gandrung memang dibawakan seorang laki-laki atau yang biasa disebut Gandrung Marsan. Lambat laun Gandrung berkembang dan lebih banyak dibawakan perempuan. Penari Gandrung perempuan pertama adalah Gandrung Semi.
Dalam Festival Gandrung Sewu, adegan munculnya Gandrung Semi diikuti ribuan penari gandrung berkostum merah yang menghambur dari berbagai arah dan kemudian menyatu di satu titik.
Sentuhan teatrikal akan kental saat adegan perebutan posisi sebagai gandrung, antara gandrung laki-laki dan gandrung perempuan. Fragmen ini berlangsung hingga subuh tiba.
Saat subuh datang, tiba-tiba mereka yang sedang bertarung tersadar akan kesalahannya. Kedua belah pihak memohon ampun pada Yang Maha Kuasa. Mereka menyadari bahwa menjadi gandrung adalah suratan tangannya, jadi harus dijalani, dan tak perlu diperebutkan.
Uniknya, karena bermakna permohonan ampun pada yang maha kuasa, properti yang dibawa para penari gandrung ini selain kipas adalah sapu lidi. Simbolisasi bersih-bersih diri dan mohon ampun ditunjukkan dengan sapu lidi yang mereka bawa.
0 comments:
Post a Comment