Suasana pelepasan di depan sekretariat Paitua-MTU
Matahari semakin meninggi di atas langit
kota Padang, memantulkan sinar yang berkilau ketika menabrak kaca
jendela gedung Fakultas Teknik Unand. Semilir angin yang berdesir
sedikit menyejukkan suasana di kampus yang berjuluk “Kampus Power
Ranger” tersebut. Di bawahnya saya dan rekan-rekan yang lain berdiri
rapi tepat di depan sebuah sekretariat berdinding papan untuk mengikuti
upacara pelepasan. Ya, hari ini kami berencana melakukan pendakian ke
Gunung Talamau yang terletak di Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar.
Dalam pendakian ini total kami berjumlah 10 orang yaitu Taing, Dayat,
Sapek, Ilham, Acil, Mamat, Anai, Ari, Ricky dan aku sendiri. Empat nama
terakir merupakan anggota biasa Paitua-MTU, sebuah organisasi
kepecintaalaman yang berbasis di fakultas Teknik Universitas Andalas.
Setelah upacara pelepasan kami melanjutkan perjalanan menuju kampus UNP
di Air Tawar dengan menyewa angkot untuk berganti armada. Tak perlu
waktu lama bagi kami untuk mendapatkan bus, begitu turun dari angkot
seorang kondektur bus menawarkan jasanya. Ongkos yang harus kami bayar
sebesar Rp 30 ribu per orang. Akhirnya sekitar pukul 11.30 WIB bus
melaju menuju Pasaman di bawah terik matahari siang ini.
Setibanya di Pasaman Barat tepatnya di
Nagari (baca: desa) Pinaga hari sudah sore, sekitar pukul 16.30 WIB.
Setelah bersosialisasi dengan penduduk setempat kami melanjutkan
perjalanan menuju lahan pertanian penduduk di kaki Gunung Talamau dengan
berjalan kaki. Di sana terdapat sebuah pondok dan sesuai rencana malam
ini kami akan menginap.
Sempat tersesat karena kondisi jalan yang
telah berubah sejak terakhir kami ke sana, akhirnya tiba juga kami di
pondok yang tepat berada di tengah-tengah ladang tersebut. Di
sekelilingnya tumbuh berbagai jenis tanaman palawija. Dingin malam
seolah tak terasa karena hawa panas selama perjalanan masih terasa
rupanya. Sementara bulan menampakkan bentuknya dengan panacaran sinar
putih meski tak purnama. Setelah makan malam kami tak lantas tidur,
santai sejenak memandangi panorama malam di bawah bias cahaya bulan.
Lumayan syahdu ternyata bercengkrama dengan teman-teman di momen seperti
ini.
Minggu, 25 Agustus 2013.
Pagi yang sejuk, aku terjaga mendengar
percakapan Anasrul dan Acil. Rupanya mereka berdua akan menuju sungai
untuk mengambil air, sementara yang lain masih terlelap dalam tidurnya.
Ketika bangun pandanganku dihadapkan pada hijaunya hamparan ladang nan
luas, semakin indah kala sinaran mentari memantulkan cahaya berkilau
ketika menerpa dedaunan tersebut. Berbagai macam tanaman pangan tumbuh
subur di sini seperti kacang tanah, jagung dan cokelat. Dari pondok kayu
2 lantai ini lumayan banyak pemandangan yang bisa disaksikan, lumayan
sejuk di mata sebagai ‘pemanasan’ sebelum tiba di puncak nantinya. Aku
segera mengambil kompor dan tabung gas untuk masak. Sementara matahari
telah menyingsing di ufuk timur, perlahan.
Pukul 09.30 WIB kami telah berkumpul di bawah pondok dengan carrier
tersandang di pundak. Setelah berdo’a kami segera melanjutkan
perjalanan ini. Trek awal masih melintasi lahan pertanian penduduk,
semakin mendekati pintu rimba banyak area hutan yang telah berubah
menjadi ladang. Cuaca cerah membuat kami cepat mengeluarkan keringat dan
beberapa kali meneguk air minum. Begitu memasuki pintu rimba suasana
asri mulai terasa. Panas matahari yang tepat di atas kepala tak begitu
terasa karena terhalang rindang pepohonan.
Tepat tengah hari kami telah tiba di Pos Rindu Alam (1100 mdpl). Di tempat ini kami istirahat, sholat dan makan snack.
Tak lupa tentunya menu minuman hangat. Sumber air berada di sebelah
kanan sekitar 20 m dengan menuruni jalan yang curam berupa sungai kecil
dengan bebatuannya. Area di tempat ini lumayan luas untuk pos
peristirahatan, dimana bisa menampung 7 tenda isi 6. Sebelum pos Rindu
Alam ini, bisa dikatakan masih trek ‘pemanasan’ karena relatif masih
landai.
Istirahat sekitar satu setengah jam
lumayan membuat stamina kembali bugar sebelum kami melanjutkan
perjalanan kembali. Setelah tempat ini jalurnya mulai didominasi
tanjakan yang semakin ke atas semakin curam saja. Suhu pun semakin
dingin karena semakin mendekati puncak. Sepanjang trek pendakian banyak
dijumpai penunjuk arah jalan berupa sepotong seng bertuliskan organisasi
pembuatnya. Juga tali rafia yang terikat di ranting-ranting pohon
kecil. Sangat membantu pendakian tentunya, apalagi jalan menuju puncak
juga telah setapak. Pepohonan besar juga semakin sering ditemui, lumayan
mengademkan suasana pendakian di bawah teriknya matahari.
Hari semakin sore, sinar mentari semakin
redup menemani perjalanan kami. Sementara kondisi fisik juga semakin
lelah, karena trek yang kami lalui nyaris tanpa ‘bonus’. Sayup-sayup
terdengar suara gemericik air, semakin dekat gemericiknya semakin keras
terdengar. Yup, air terjun! Ternyata di sebelah kiri jalan merupakan
lembah yang terdapat sebuah sungai kecil yang menghasilkan air terjun di
sepanjang alirannya. Ini pertanda bahwa camp selanjutnya sudah dekat. Dari atas terdengar teriakan rekan-rekan yang telah lebih dulu tiba, aku lantas mempercepat langkah.
Setibanya di Pos Bumi Sarasah
(1860 mdpl), kudapati teman-teman yang lebih dulu tiba sedang
mendirikan tenda. Aku dan Acil lantas mengambil tempat air minum dan
menuju ke sungai. Sumber air di camp ini terletak di sebelah
kiri jalan, menuruni trek curam sekitar 20 m. Sumber air berupa sungai
kecil berbatu mirip seperti di Pos Rindu Alam, bedanya air di sini lebih
dingin. Di tempat ini terdapat sebuah gubuk yang telah roboh tapi masih
bisa difungsikan, sedangkan untuk tempat camp hanya bisa muat untuk 3 tenda besar.
Pos Bumi Sarasah
Aku mendongak ke atas, langit sore ini masih menyisakan birunya. Hmm, semoga cuaca tetap cerah selama pendakian ini, batinku. Setelah tenda berdiri dan semuanya sudah fix
kami berkumpul bersama di depan tenda. Menikmati obrolan sore di bawah
langit cerah dengan suhu yang dingin. Suasana semakin klop karena ada
minuman penghangat ditambah cemilan pengganjal perut menjelang makan
malam. Sampai di camp ini perjalanan sudah melebihi setengah,
esok hari perjalanan tak akan seberat hari ini. Oh ya, tempat ini
dinamakan Bumi Sarasah karena banyak terdapat air terjun (dalam bahasa
Minang, sarasah = air terjun) di sepanjang sungai yang menjadi sumber
air.
Meski langit cerah malam ini dan
bintang-bintang sedang ‘tebar pesona’, kami memilih untuk beristirahat
lebih cepat. Perjalanan tadi siang lumayan melelahkan. Setelah semua
perlengkapan tersusun rapi kami segera masuk tenda untuk tidur,
mengumpulkan kembali tenaga untuk besok.
Senin, 26 Agustus 2013.
Begitu keluar dari tenda aku merasakan
kesejukan, pagi ini cuaca cerah. Cahaya mentari pagi yang menembus celah
pepohonan hangat memelukku, sinarnya yang teduh perlahan menghapus sisa
embun di dedaunan. Seolah ingin menyapa kami, bercengkrama dalam
keharmonisan alam. Kuhirup udara pagi ini, kesejukan langsung terasa
begitu oksigen memenuhi ruang paru-paruku dan kuhembuskan kembali lewat
mulut dalam bentuk karbondioksida. Suhu yang dingin membuat hembusan
nafasku seolah seperti gumpalan asap. Tempat ini memang dingin tapi
sinaran mentari cukup mengimbangi dan membuat suhu tubuh tetap stabil.
Seperti biasa pagi ini suasana di tempat camp lumayan pikuk. Tanpa dikomandoi kami mengerjakan tugas masing-masing. Ada yang mengambil air di sungai, memasak hingga packing.
Sembari menunggu menu sarapan masak, kami mengobrol santai diiringi
candaan yang hangat. Memang suasan seperti ini hanya bisa didapatkan di
lapangan, selain memupuk kebersamaan juga belajar mengisi kekurangan
masing-masing. Karena ketika di lapangan lah sifat kita yang sebenarnya
muncul. Di situ kita dituntut untuk sabar dan saling pengertian serta
tidak mementingkan diri sendiri. Jadi ke lapangan bukan semata tanpa
tujuan, lebih dari itu kita juga ingin mengenal alam lebih dekat,
bercengkrama, menikmati setiap langkah tanpa beban. Selain itu juga
menghilangkan penat untuk sesaat dari rutinitas.
Tepat pukul 09.30 WIB kami berangkat dari
Pos Bumi Sarasah. Tanpa basa-basi trek curam langsung kami lahap yang
membuat nafas tersengal, beruntung setelahnya terdapat bonus. Jalur yang
kami lalui cukup jelas dan masih banyak terdapat tanda. Semakin ke atas
pepohonan besar semakin berkurang berganti dengan semak dan ransam.
Hingga akhirnya tiba di Pos Paninjauan (2500 mdpl)
pohon-pohon besar sudah tidak ada lagi. Menjelang tiba di Pos Paninjauan
mulai banyak dijumpai bebatuan di sepanjang jalan, juga ada jalan
‘lubang tikus’.
Sumber air di Pos Paninjauan ini tepat
berada di sisi jalan yang berupa cerukan di mana di atasnya terdapat
aliran sungai kecil. Sedangkan sinyal sellular juga tertangkap dengan
baik, terutama Telk****l. Ketika sedang beristirahat di tempat ini kami
berpapasan dengan pendaki lain yang akan turun berjumlah 9 orang, 4
Diantaranya anggota KOMMA FP-UA (Mapala Fak. Pertanian Unand).
Setelah Pos Paninjauan trek masih mendaki
di mana di kiri-kanan jalan tumbuhan ransam mendominasi. Di sebelah
kanan jalan terdapat sebuah sungai dengan bebatuannya yang berlumut.
Kemudian trek mendatar dan menyebrangi sebuah sungai kecil yang menjadi
pertanda bahwa kami telah sampai di daerah Padang Sarinjano. Nah di kawasan ini kontur tanahnya relatif datar dan puncak bisa dilihat dari sini. Sebelum tiba di tempat camp, kami melewati 3 buah telaga di mana yang paling besar dan paling dekat dengan tempat camp bernama Telaga Puti Sangko Bulan. Akhirnya kami tiba di Camp Rajawali Putih (2880 mdpl). Sebenarnya di sekitar Telaga Puti Sangko Bulan terdapat 2 tempat camp,
yang pertama sekitar 10 m dari telaga dengan kondisi tanah yang sangat
lembab, yang kedua agak jauh dari Telaga dan relatif lebih kering. Kami
memilih yang terakhir.
Telaga Puti Sangko Bulan dengan latar puncak Gunung Talamau
Tempat camp di Rajawali Putih
ini tidak terlalu luas hanya bisa menampung sekitar 4 tenda kecil. Cuaca
cerah seharian sempat diselingi hujan saat sore namun hanya sebentar.
Tak lama berselang di langit tampak Fenomena Halo, yaitu fenomena
munculnya pelangi yang tampak mengelilingi matahari.
Tak terasa senja mulai menjelang. Aku
segera ke telaga untuk mengambil air wudhu’ bersama Mamat. Dingin
langsung merayap di sekujur tubuh begitu tanganku menyentuh permukaan
telaga. Usai Sholat Maghrib kami masak bersama di luar tenda ditemani
kepulan hangat secangkir kopi yang membuat suasana semakin ‘syahdu’.
Langit malam ini sebenarnya cerah hanya saja awan sering ‘lalu-lalang’
yang menghalangi bintang-bintang di atas sana.
Selasa, 27 Agustus 2013.
Pagi ini kami bisa sedikit bersantai, tidak masak seperti biasanya. Hanya menyeruput secangkir Cappuccino hangat sebagai pasokan energi menuju puncak. Ya, waktu tempuh dari Camp Rajawali Putih ini menuju puncak hanya sekitar 30 menit. Dari camp ini sebenarnya puncak sudah tampak, jadi tinggal ‘selangkah’ lagi kami bisa menjajaki tanah tertinggi bumi Pasaman.
Jalan menuju puncak lumayan penuh dengan
semak ransam. Jadi disarankan memakai baju dan celana panjang agar
terhindar dari tajamnya ransam yang menjuntai ke jalan. Cuaca hari ini
cerah, sama seperti hari sebelumnya. Hanya saja karena ini daerah puncak
awan sering berseliweran yang membuat pandangan ke view di bawah sana kadang terhambat. Kami mendaki dengan santai sambil sesekali menoleh ke belakang, melihat tempat camp yang semakin jauh di bawah sana.
Finally, Top! Kulirik arloji di
tangan kiriku, waktu menunjukkan pukul 08.40 WIB. Masih cukup pagi,
masih banyak waktu yang bisa kami habiskan di puncak ini. Sebelum
mencapai puncak di sepanjang jalan banyak sekali kami jumpai batu-batu
berukuran besar. Kami mengucap syukur atas semua ini, bisa mencapai
puncak dan melihat dari atas dengan tatapan yang lebih luas Maha karya
Tuhan yang luar biasa ini. Sungguh pengalaman yang tentunya akan
berkesan dan tak akan terlupakan. Menatap Pasaman di tanah tertinggi,
duduk di atas bebatuan dengan semilir angin yang sepoi. Sangat
menyejukkan pikiran dan juga hati.
Dari sini tampak hijau merona di
pandangan mata. Pemukiman dan ladang penduduk hanya seperti petak-petak
permainan ular tangga, terpisahkan oleh garis tak beraturan. Dari
kejauhan tampak Puncak Tri Arga (Marapi, Singgalang & Tandikek)
menjulang dengan kokohnya. Sebenarnya ada total 13 telaga yang pernah
terlihat di Gunung Talamau ini, hanya saja kami cuma bisa melihat 7
saja. Di puncak ini juga terdapat sebuah kubah yang ditopang dengan
tongkat besi setinggi kira-kira 4 meter. Kawasan puncak ini cukup luas
tapi konturnya tidak datar karena bebatuan besar yang terhampar di
mana-mana, sementara tumbuhan yang mendominasi yaitu pepohonan kecil
khas puncak dengan daunnya yang berwarna hijau dan merah. Setelah puas
berada di puncak dan mengabadikan momen-momen berharga ini kami turun ke
camp.
Hujan rintik sempat turun sebentar ketika kami telah tiba di Camp Rajawali Putih. Usai makan siang dan packing kami segera turun menuju Bumi Sarasah untuk camp
di sana semalam lagi. Menjelang tiba di Bumi Sarasah hujan menemani
perjalanan kami, kali ini deras. Sekitar pukul 16.00 WIB kami tiba dan
hujan masih berlanjut ketika kami mendirikan tenda.
Rabu, 27 Agustus 2013.
Seperti biasa pukul 09.30 WIB kami
memulai perjalanan turun dan telah tiba di Pos Rindu Alam pukul 11.00
WIB dan beristirahat sejenak. Di sini kami bertemu 3 pendaki yang akan ‘nanjak’,
mereka adalah warga Nagari Pinaga. Satu diantaranya merupakn junior
kami di Fakultas Teknik. Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB begitu kami
tiba di pondok tempat kami menginap beberap hari yang lalu. Kami
putuskan untuk stay semalam lagi karena akan susah mendapatkan bus ke Padang ketika sore.
Kamis, 28 Agustus 2013.
Pagi ini adalah hari ke-6 kami berada di
bumi Pasaman, sesuai rencana hari ini kami akan pulang menuju Padang.
Tampak Ricky sedang menyiapkan sarapan bubur kacang hijau, sementara
yang lain menuju ke sungai untuk mandi, ada juga yang tetap di pondok
menikmati pagi sambil ngopi. Cuaca sepertinya akan cerah karena matahari telah muncul sedari tadi, memberikan kehangatan pada makhluk di bumi ini.
Setelah selesai packing dan
meminta izin kepada sang empunya pondok kami segera melanjutkan
perjalanan. Melewati ladang-ladang penduduk untuk kemudian sampai di
Nagari Pinaga dan mencari transportasi menuju Padang. Sungguh
petualangan yang menyenangkan mendaki bersama rekan-rekan terhebat,
mendaki gunung tertinggi di Sumatera Barat. Jauhnya trek seolah tak
terasa karena kebersamaan yang kami bangun, belum lagi alam yang asri
selama pendakian dan panorama yang menakjubkan ketika di puncak. Letih
yang kami dapatkan pun terbayar oleh semuanya itu. Untuk yang sudah
pernah ke Gunung Talamau pasti tahu tentang keindahan itu, bagi yang
belum patut dicoba untuk mendaki gunung yang satu ini.
Salam Lestari!!!