Kelompok
tani di Sumbermanjing Wetan dan Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang,
Jawa Timur, berhasil memproduksi bioethanol. Produksi petani itu telah
dijual bebas ke pasaran, selain digunakan sebagai energi alternatif
pengganti gas dan juga pupuk urea. Bagaimana proses pembuatannya?
Kepada VIVAnews, Haryono, salah satu petani bioethanol menceritakan proses pembuatan bioethanol. Tiap hari, ia mengaku butuh sekitar 40 kilogram jagung yang dibeli dari petani setempat.
Kepada VIVAnews, Haryono, salah satu petani bioethanol menceritakan proses pembuatan bioethanol. Tiap hari, ia mengaku butuh sekitar 40 kilogram jagung yang dibeli dari petani setempat.
Dengan harga saat ini,
Rp3.500 per kilogram, Hariyono harus merogoh kocek sebesar Rp140 ribu,
ditambah satu tabung LPG 3 kilo seharga Rp15 ribu, maka dibutuhkan modal
sebesar Rp155 ribu.
Prosesnya, jagung direndam dalam air 100 liter yang diberi enzim khusus berwarna hitam sebanyak satu sendok teh. Dengan enzim itu, jagung jadi matang setelah 15 menit terendam air. “Jagung matang tanpa perlu direbus lebih dahulu. Ini berkat enzim super temuan Pak Didik Prasetyo, untuk bahan enzim sengaja dirahasikan bahannya karena belum dipatenkan,” katanya.
Setelah itu, jagung yang telah hancur dan matang dimasukkan dalam kaleng plastik yang tertutup rapat dan diberi ragi untuk proses fermentasi selama tujuh hari. Air hasil rendaman akan dimasak di tong khusus yang dibakar dengan suhu sekitar 87 derajat celcius selama enam jam.
Uap air yang mendidih, ditangkap oleh cerobong setinggi tiga meter dan dialirkan melalui kawat spiral. Lalu, uap tersebut masuk ke tong aluminium ke dua, yang berisi air dingin untuk mendinginkan hasil destilasi. Dari bagian bawah tong ke dua inilah bioetanol menetes, yang ditadahi dalam botol air minum dalam kemasan (AMDK) ukuran 1500 mililiter.
Ada 20 liter bioethanol berkadar 92 persen berwarna putih tanpa bau yang dihasilkan dari setiap kali proses memasak. Bioethanol ini bisa digunakan sebagai pengganti LPG dengan kompor modifikasi khusus.
Prosesnya, jagung direndam dalam air 100 liter yang diberi enzim khusus berwarna hitam sebanyak satu sendok teh. Dengan enzim itu, jagung jadi matang setelah 15 menit terendam air. “Jagung matang tanpa perlu direbus lebih dahulu. Ini berkat enzim super temuan Pak Didik Prasetyo, untuk bahan enzim sengaja dirahasikan bahannya karena belum dipatenkan,” katanya.
Setelah itu, jagung yang telah hancur dan matang dimasukkan dalam kaleng plastik yang tertutup rapat dan diberi ragi untuk proses fermentasi selama tujuh hari. Air hasil rendaman akan dimasak di tong khusus yang dibakar dengan suhu sekitar 87 derajat celcius selama enam jam.
Uap air yang mendidih, ditangkap oleh cerobong setinggi tiga meter dan dialirkan melalui kawat spiral. Lalu, uap tersebut masuk ke tong aluminium ke dua, yang berisi air dingin untuk mendinginkan hasil destilasi. Dari bagian bawah tong ke dua inilah bioetanol menetes, yang ditadahi dalam botol air minum dalam kemasan (AMDK) ukuran 1500 mililiter.
Ada 20 liter bioethanol berkadar 92 persen berwarna putih tanpa bau yang dihasilkan dari setiap kali proses memasak. Bioethanol ini bisa digunakan sebagai pengganti LPG dengan kompor modifikasi khusus.
Bioethanol kadar 92
persen juga bisa digunakan untuk campuran untuk meningkatkan oktan BBM
bersubsidi. Perbandingannya, satu liter bioethanol berbanding emoat
liter Premium. Bahan bakar campuran ini, diklaim memiliki kandungan
oktan setara dengan Pertamax Plus.
Sayangnya, satu liter bioethanol 92 persen, dijual dengan harga Rp30 ribu untuk warga di luar anggota kelompok tani. “Kalau anggota Poktan gratis, boleh bergantian memakai bioethanol 92 persen ini. Mereka juga banyak yang sudah punya kompor khusus untuk bioethanol,” katanya.
Namun, sesuai kesepakatan, hanya dua liter Biethanol 92 persen yang digunakan untuk bahan bakar. 18 liter sisanya, diolah untuk produk merek Sumawethanol, bioethanol food grade.
Sayangnya, satu liter bioethanol 92 persen, dijual dengan harga Rp30 ribu untuk warga di luar anggota kelompok tani. “Kalau anggota Poktan gratis, boleh bergantian memakai bioethanol 92 persen ini. Mereka juga banyak yang sudah punya kompor khusus untuk bioethanol,” katanya.
Namun, sesuai kesepakatan, hanya dua liter Biethanol 92 persen yang digunakan untuk bahan bakar. 18 liter sisanya, diolah untuk produk merek Sumawethanol, bioethanol food grade.
© VIVA.co.id
0 comments:
Post a Comment