Bagi sebagian masyarakat Tionghoa Semarang, nama Khong A Djong tak terlampau asing. Mereka senantiasa menambahkan kata ''suhu'' saat menyebut namanya. Sebutan itu menjadi tengara, betapa ia bukan lelaki biasa. Banyak kemampuan dia miliki, selain seni bela diri kung fu, A Djong juga menguasai ilmu pengobatan tradisional Tiongkok untuk menyembuhkan patah tulang.
Ilustrasi Kung Fu |
Di negeri besar itu, dia belajar kungfu di Siao Liem, perguruan masyhur tempat para pendekar kungfu terbaik Tiongkok menuntut ilmu. Gurunya Siong Mao, murid Guru Besar sekaligus pendekar legendaris Wong Fei Hung.
Wong Fei Hung (google)
Di antara gambar-gambar anatomi tubuh manusia yang terpasang di dinding ruang praktik Suhu Khong A Djong di Jl MT Haryono Semarang, sebuah reproduksi foto kuno terasa lebih menarik perhatian. Gambarnya, seorang pemuda berambut cepak tengah berdiri gagah bersedekap tangan.
Badannya sedang-sedang saja, tak begitu besar, pun terlampau kecil. Namun tubuh pemuda itu terlihat kukuh dengan sembulan otot-otot di kedua lengan dan hastanya. Lebih gagah, karena ia mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit harimau (fu bei sam).
''Ini foto saya waktu misih muda dulu, kira-kira umur 30-an,'' tutur Khong A Djong lirih.
Menurut Khong A Djong, pakaian kulit harimau itu dia dapatkan setelah memenangi kejuaraan kung fu gaya bebas di daratan Tiongkok (baligay) selama tujuh kali berturut-turut. Kebanggaan lain, dia mengaku pernah mencecap ilmu kung fu oleh mahaguru kung fu legendaris Tiongkok Wong Fei Hung.
Umur enam tahun, orang tuanya menitipkan Khong A Djong kepada seorang pamannya yang tinggal di Kota Nam Hai, Provinsi Kwang Tung, Tiongkok. Di negeri besar itu, dia belajar kung fu di Siao Liem Sie, perguruan masyhur tempat para pendekar kung fu terbaik Tiongkok menuntut ilmu.
Di perguruan yang juga menelurkan bintang film kung fu legendaris Brush Lee itu, dia memelajari dua aliran kung fu, yakni siau liem dan nggo mbie paei. Siau liem adalah aliran kung fu dari Tiongkok Selatan yang mengutamakan pertarungan tangan kosong jarak jauh. Adapun nggo mbie paei, berasal dari Tiongkok Utara yang mengedepankan pertarungan tangan kosong jarak pendek. Meski demikian, penggunaan senjata seperti toya, pedang, trisula, kwang tauw, tombak, golok, hwa, dan tali, juga diajarkan.
''Dibandingkan dengan senjata-senjata yang lain, tali adalah senjata paling hebat. Meski kelihatannya sepele, dia bisa mengalahkan pedang, tombak, golok, dan senjata tajam lainnya,'' jelasnya.
Di luar itu, setiap murid juga mendapat ilmu bahasa sandi dan pengobatan cidera. Bahasa sandi digunakan untuk pembicaraan rahasia antarkawan seperguruan. Bahasa itu, sekaligus menjadi identitas keanggotaan Siao Liem Sie. Jika dua orang bertemu di jalan dan bisa berbincang dengan bahasa sandi itu, hampir dapat dipastikan mereka saudara seperguruan.
Khong Fan Shen sang anak mengisahkan, suatu ketika ayahnya didatangi beberapa murid seperguruan dari Tiongkok. Saat bersua, mereka berbicara dengan bahasa aneh yang tak dia mengerti. Namun, kendati belum pernah bertemu sebelumnya, mereka terlihat sangat akrab. Bahasa sandi Siau tak boleh diajarkan kepada orang lain di luar perguruan.
Setelah 27 tahun belajar kungfu di Tiongkok, A Djong dipanggil orang tuanya pulang ke Semarang untuk menikah dengan seorang gadis tetangga dari Kampung Gabahan Lengkong Buntu, Auw Yang Ien Nio.
Punya tanggungan keluarga, A Djong bekerja apa saja. Dia juga memanfaatkan kemampuan bela dirinya untuk melatih dan menggelar pertunjukan kungfu di tempat umum.
kemudian berpraktek sebabgai tabib, dan meninggal pada 22 September 2008.
Sumber dan refrensi
Facebook Ki Ageng Sambernggelap danSang Pewaris Jurus Wong Fei Hong