Dalam keadaan boyak, Suriah kini menanti nasibnya. Selama dua tahun
lebih, negeri itu pecah oleh perang saudara. Sekitar 100 ribu orang
tewas akibat konflik bersenjata oposisi, dan rezim Bashar al-Assad.
Jutaan orang mengungsi.
Dari Washington DC, Presiden AS Barack
Obama menyerukan AS siap menyerang Suriah pekan lalu. Ada senjata kimia
meletup di wilayah oposisi, 21 Agustus 2013. Ribuan warga sipil
dilaporkan tewas. Obama menunggu keputusan Kongres AS untuk satu perang
baru di Timur Tengah. Jazirah kaya minyak itu pun kian membara.
Mewarisi
kekuasaan Partai Baath dari mendiang ayahnya, Assad sejak Maret 2011
menjadi target kemarahan sebagian rakyat. Selama berhari-hari dia
didemonstrasi agar turun dari kekuasaan setelah 13 tahun menjadi
presiden. Assad bergeming. Dia balas protes itu dengan pengerahan
kekuatan militer. Oposisi pun lalu angkat senjata.
Tapi di
Damaskus, meski setiap hari bunyi senapan dan meriam menyalak di
kejauhan, warga masih berkegiatan seperti biasa. Banyak tempat usaha
masih buka, walau pos pemeriksaan militer ada di mana-mana. Para remaja
masih berkeliaran di sudut-sudut kota, dan tempat belanja.
Bela AssadBagi
sebagian warga, perang saudara di Suriah memang patut disesali. Tapi
bila mendapat serangan asing seperti Amerika Serikat, apapun alasannya,
tindakan itu mesti ditentang.
Dima, seorang warga Damaskus,
memilih tetap tinggal walau apapun yang akan terjadi. Dia mengaku telah
mendengar rencana AS menyerbu Suriah. Sambil menikmati sepiring kebab
ayam di sebuah restoran di Salhiyeh, dia menegaskan Damaskus tak akan
runtuh. "Damaskus adalah benteng, duri bagi kaki Amerika," ujar
perempuan pelukis itu.
Menurut Obama, serangan militer ini
sebagai hukuman atas serangan senjata kimia yang dilancarkan pemerintah
Bashar al-Assad kepada rakyatnya sendiri di sebelah timur Damaskus pada
21 Agustus lalu, yang menewaskan lebih dari 1.400 orang. AS pun langsung
menuduh bahwa pelakunya adalah suruhan Assad (Lihat:
Gas Maut di Pinggir Damaskus).
Namun,
seperti kebanyakan warga di Damaskus yang merupakan pusat pemerintahan
Suriah, Dima yakin AS hanya mencari-cari alasan menginvasi Suriah
sekaligus menyingkirkan rezim Assad dari kekuasaan.
Kendati
sebagai pelukis, Dima mengaku juga bisa mencium aroma konspirasi dari
rencana Obama. AS, menurut Dima, sengaja ingin menyerang Suriah agar
bisa menghantam "poros perlawanan" atas Israel. Poros itu selama ini
digalang Damaskus bersama dua sekutunya, Iran dan kelompok Hisbullah di
Lebanon.
Dia mengaku siap membela negara bila diserang Amerika.
Serangan itu dia anggap upaya agresi atas negara berdaulat seperti
Suriah. Dima menyatakan tidak gentar menghadapinya. "Bila ada serangan,
saya akan sukarela bertempur bersama tentara, untuk membantu atau
apapun," ujar dia.
Seorang warga lain Damaskus, Umm Hassan,
mengaku sudah bersiap bila Amerika menyerang. Kerusakan akibat serangan
itu pasti ada. Tapi, sebagai warga Suriah, dia wajib membela negara.
"Tentu
saja kami takut akan ada korban jiwa dan banyak bangunan hancur ...
Namun kami akan tetap tinggal dan akan melawan. Itulah cara bagaimana
kami akan mengatasinya," ujar Hassan, seperti dikutip
Al Arabiya. Ada
pula warga terilhami pahlawan nasional Suriah, Yussef al-Azmeh. Dia
dikenal berjuang melawan pasukan kolonial Prancis hingga Suriah merdeka.
Sebagai penghargaan, pemerintah mendirikan patung al-Azmeh di
Damaskus.
"Yussef al-Azmeh hanya punya beberapa pucuk senjata
dan dia tak pernah menyerah kepada Prancis. Kami akan berbuat yang
sama," kata Abu Firas, warga lain di Damaskus.
Suasana seperti
ini membuat sebagian warga juga teringat akan Perang Arab-Israel 1973.
Sebagai negara Arab, Suriah pun terlibat dalam perang itu.
Seorang
pria bernama Mazen mengenang 40 tahun silam saat dia masih berusia 14
tahun. Dulu dia kerap naik ke atap rumah orangtuanya melihat jet-jet
tempur Israel melintas untuk mengebom posisi pasukan Suriah.
"Keyakinan
kami akan menang justru lebih kuat dari kekuatan militer," kata Mazen.
"Bahkan bila ada pertumpahan darah, Damaskus akan bertahan. Walau mereka
datang dengan tank, mereka harus langkahi dulu mayat kami," kata pria
yang berprofesi sebagai insinyur itu, sambil melirik judul berita-berita
utama sebuah koran pro pemerintah Suriah di suatu kios di Damaskus.
Memang,
beberapa hari terakhir pemerintah terus menggosok sentimen
nasionalisme. Selain di surat kabar, stasiun televisi kerap
mengedepankan berita mengenai "perlawanan" yang disiapkan pemerintah
menghadapi ancaman "agresor". Tentu, propaganda itu disertai tayangan
pasukan Suriah terlibat dalam pertempuran.
Sudah burukIntervensi
AS memang dilematis. Di satu sisi, ada risiko keadaan Suriah jadi lebih
buruk akibat serangan AS. Tapi, tanpa campur tangan Amerika pun keadaan
sudah sangat buruk. Korban jiwa terus bertambah. Perang saudara pun
masih belum ada tanda-tanda akan selesai.
Kelompok relawan di
Lebanon mengungkapkan negeri mereka kedatangan sekitar 80 hingga 120
keluarga asal Suriah setiap hari, sejak serangan senjata kimia pada 21
Agustus lalu. Jumlah itu dua kali lipat dari sebelum serangan, yang
diduga kuat memakai senjata kimia, di daerah Ghouta (Lihat
Infografik: Maut Senjata Kimia).
Tak
heran bila UNHCR mencatat pengungsi Suriah kini mencapai lebih dari dua
juta jiwa. Jumlah itu terus membengkak, lantaran tiga bulan terakhir
angkanya bertambah sebanyak 500 ribu pengungsi. Stasiun
BBC melaporkan pada 3 September 2013, sebagian besar pengungsi adalah anak-anak, berusia di bawah 11 tahun.
Korban
jiwa di Suriah saat ini menembus angka 100 ribu orang, demikian catatan
PBB. Solusi damai belum ditemukan, sementara korban terus berjatuhan.
Bahkan, ungkap Asisten Sekjen Badan HAM PBB, Ivan Simonovic, 5.000 orang
kehilangan nyawa setiap bulan di Suriah.
Anti AssadBila
di Damaskus masih relatif normal, suasana berbeda terlihat di Aleppo
dan sejumlah kota Suriah yang menjadi basis kelompok anti-Assad.
Kota-kota itu menjadi medan perang antara pasukan pemerintah, dengan
kelompok-kelompok bersenjata anti-Assad. Rakyat sipil pun jadi korban.
Di
sejumlah kota di luar Damaskus, rezim Assad justru sangat tidak
populer. Bahkan ada yang tidak keberatan, kalau AS segera beraksi di
negeri mereka, menyerang Assad dan para pasukannya.
Komentar
itulah yang terlontar dari Ahmad Kuliyeh. Lagipula, sebelum AS menyerang
pun, negerinya sudah porak-poranda. "100.000 orang tewas, jutaan
kehilangan tempat tinggal dan negeri itu hancur. Habis sudah," kata
Ahmed. Dia terbaring lemas di ranjang rumah sakit di Dar el-Shifaa. Dia
terkena pecahan bom, dan sudah lebih tiga pekan dirawat di sana. Satu
kakinya hancur. Salah satu lengannya pun dibalut perban.
Namun,
bila ada pilihan, Ahmed mengatakan akan lebih baik bila AS memberi dia
dan teman-temannya senjata, terutama rudal anti pesawat. "Bila kalian
beri kami senapan, kami tidak butuh (militer) Obama," kata Ahmad, pemuda
berusia 26 tahun yang memanggul senjata melawan pasukan pemerintah
seperti dikutip
USA Today.
Warga lain, Mohammad Agol,
berharap AS jangan tanggung jika menyerang pasukan Assad. Bila
serangannya lemah, Assad akan muncul lebih kuat lagi. "Dan dia pada
akhirnya akan membantai lebih banyak lagi," kata Agol, kepada koran yang
sama.
Mereka berharap serangan AS hanya ke Assad dan pasukannya
saja. Jangan warga tidak bersalah jadi korban, seperti dilakukan
pasukan Assad selama ini.
Siapa pemberontak Suriah?Ada
beberapa kelompok bersenjata di Suriah yang dalam beberapa tahun
terakhir gencar angkat senjata melawan pasukan pemerintah. Mereka
bergandengan dengan para politisi musuh rezim Assad. Salah satu kelompok
utama bersenjata itu adalah Pasukan Suriah Merdeka (FSA).
Beranggotakan
sekitar 80.000 orang, FSA ini diperkuat oleh para perwira militer yang
membelot dari pasukan pemerintah. Pemimpinnya, Salim Idris, adalah
jenderal angkatan darat Suriah sebelum membelot pada Juli 2012. Idris
pun ikut membentuk Koalisi Pasukan Revolusioner dan Oposisi Suriah pada
November 2012.
Idris telah berdinas di Angkatan Darat Suriah selama 20 tahun lebih. Dalam wawancaranya dengan
The New York Times,
satu peristiwa tragis membuatnya membelot. Pasukan pemerintah pada Mei
2012 menyerang desa al-Mubarakiyah guna menghabisi para pemberontak.
Itu
adalah desa tempat Idris dan delapan saudaranya dibesarkan oleh
orangtua mereka. Dia mengontak sesama jenderal yang memimpin serangan,
agar menghentikan penyerbuan itu.
Tapi tidak ada yang
menanggapi. Pasukan pemerintah membunuh tiga orang, dan menangkap 70
lainnya. Termasuk saudara ipar Idris satu-satunya. Dia saat itu tidak
pernah dibebaskan.
Idris, yang saat itu menjadi kepala akademi
militer di Aleppo, tak percaya dengan kabar itu. Tapi dia tidak berani
mengutarakannya kepada sesama perwira. "Saya tak bisa berkata kepada
mereka, bahwa militer saat itu datang, dan menghancurkan desa. Mereka
pasti akan menangkap saya, dan menuduh saya menjadi pengkhianat yang
mendukung revolusi," kata Idris.
Batin Idris tertekan. Dia pun
membelot. Dia menguras tabungan, yang disiapkan untuk membiayai rumah
baru bila pensiun, untuk membiayai pasukan pemberontak. Namun, Idris
tidak sendiri. Para perwira lain mengikuti langkahnya itu.
Sejak
bergabung ke FSA, Idris aktif melobi AS, termasuk ke Presiden Barack
Obama, Menlu John Kerry, dan Dewan Keamanan PBB, agar menggugah
masyarakat dunia untuk turun tangan dan membantu kelompok anti Assad
yang dia pimpin.
Itu sebabnya Idris kini jadi mitra andalan
Amerika. Dalam suatu rapat di Kongres pada 4 September lalu, Menteri
Luar Negeri John Kerry menerima pertanyaan yang sengit dari seorang
anggota DPR. "Siapa sih pasukan pemberontak itu? Siapa mereka? Saya
selalu tanyakan hal ini di setiap rapat," tanya Michael McCaul, anggota
DPR dari Partai Republik yang mewakili negara bagian Texas.
Kerry
menyebut satu nama, Jenderal Salim Idris. "Dia menjalankan sayap
militer dari kekuatan oposisi," kata Kerry, seperti dikutip
Reuters.
Sebenarnya
bukan hanya Idris yang memimpin perlawanan atas Assad. Namun, bagi AS,
kelompok bersenjata yang digalang Jenderal Idris itulah yang paling
moderat. Selebihnya adalah kelompok-kelompok militan berhaluan ekstrem.
Harian
Independent
memaparkan, ada sejumlah kelompok bersenjata anti Assad, yang juga Anti
Amerika. Salah satunya adalah Jabhat al-Nusra, yang dipimpin oleh Abu
Mohammed al-Golani. Kelompok ini punya ribuan pendukung, dan berafiliasi
dengan al-Qaida. AS pernah mencatatnya sebagai kelompok teroris sejak
Desember 2012.
Selain itu, kalangan politisi di AS juga
mencurigai milisi tertentu yang menjadi sekutu FSA dalam memerangi
pasukan Assad. Kelompok itu adalah Brigade Tawhid. Seperti dikutip
NBC News, kelompok ini terkait erat dengan al-Nusra.
"Ini
fakta tidak mengenakkan. Tidak setiap kelompok dalam FSA, bersekutu
dengan kepentingan AS di kawasan ini," kata Evan Kohlman, pengamat
keamanan, dan juga konsultan
NBC untuk isu terorisme. (np)