Nairobi : Berbagai cara dilakukan oleh para sandera di
Mal Westgate, Nairobi, Kenya yang menjadi tempat pembantaian oleh
militan Al Shaahab pada 21 September, untuk bisa bertahan hidup. Trik
pura-pura mati pun dilakukan, ternyata tak hanya berhasil dalam film
tapi juga untuk situasi pembantaian ini.
Adalah seorang presenter radio, Sneha Kothari Mashru, yang berpura-pura
mati demi menyelamatkan diri dari rentetan tembakan pria bersenjata di
Mal Westgate. Ia mengunakan darah seorang remaja yang sekarat di
sampingnya akibat tertembak, seperti diberitakan
News.com.au yang dilansir
Liputan6.com, Jumat (27/9/2013).
"Aku
menyadari bahwa ia tertembak, karena dia berdarah. Jadi aku
mengeluarkan ponselnya yang sudah berlumur darah secara perlahan, dan
aku mencoba untuk mematikannya. Agar ponselnya tak berdering (dalam
kasus itu bisa memberitahu para penyerang ada kehidupan)," ujar Sneha.
"Jadi
aku mengambil banyak darahnya, sebanyak mungkin mengoleskannya pada
tubuhku. Aku mengoleskannya di lengan, di tangan dan kemudian menyadari
bahwa saat itu si remaja berhenti bernapas," urainya sedih.
Mengetahui
remaja yang darahnya ia gunakan telah meninggal, Sneha pun semakin
banyak menggunakan darahnya untuk dioleskan pada tubuhnya.
"Jadi
aku mengolesnya pada lenganku sebanyak mungkin, dan aku menutupi wajahku
dengan rambut hanya untuk berpura-pura bahwa aku mati atau mungkin
terluka parah," imbuhnya.
Setelah horor di Mal Westgate Kenya itu
berakhir, Sneha pun merasa berutang nyawa pada remaja itu. Lalu ia pun
mencoba mencari tahu identitas sang penyelamatnya.
"Aku masih
ingin tahu siapa dia, dan segalanya tentang remaja itu. Karena darahnya
telah melindungiku dari luka atau serangan si penembak," ungkap Sneha
mengenang perjuangan hidupnya ketika itu.
Korban lainnya yang juga
pura-pura mati adalah Fred Bosire. Pria yang bekerja di sebuah
supermarket di pusat perbelanjaan Westgate, Nairobi itu sedang sibuk
melayani pelanggan saat akhir pekan sebelum pembantaian dimulai.
Seorang
staf di supermarket Nakumatt yang terletak di belakang kompleks mal itu
kemudian terjebak bersama ratusan rekan dan pembelinya, ketika
tiba-tiba sekelompok orang bersenjata berbaris dan mengepung lalu
memberondong lorong supermarket dengan senjata api otomatis.
"Aku
melihat orang-orang berjatuhan di sekitarku. Orang-orang berjongkok di
belakang meja daging, tapi aku mendapat cukup ruang untuk berbaring dan
menelungkupkan wajah," kata Fred yang berusia 35 dari ranjang rumah
sakit tempatnya di rawat.
Awalnya, Fred pikir itu adalah perampokan biasa.
"Aku
melihat beberapa pembeli masih berjalan di sekitarku, mendorong
keranjang belanja perlahan, mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang
terjadi. Mereka, sepertiku, mungkin berpikir letusan tembakan hanya
berlangsung sebentar," tutur Fred.
Kemudian Fred menyadari sesuatu yang jauh lebih mengerikan sedang terjadi.
"Aku
tidak berpikir kami adalah target, tapi kemudian aku mendengar penembak
berbicara. Sulit memahami apa yang mereka katakan, karena mereka
berbicara dalam campuran bahasa Inggris, Kiswahili dan seperti bahasa
Arab. Tapi aku tahu bahwa kami berada dalam kesulitan," rincinya.
"Anda
telah menyerang negara kami, Anda telah memperkosa perempuan dan
membunuh orangtua kami dan sekarang saatnya kami melakukan pembalasan,"
ungkap Fred dari percakapan para penembak yang ia dengar dan mengerti.
Fred pun sadar, kondisi saat itu semakin buruk.
"Aku bisa mendengar jeritan, teriakan minta tolong. Mereka menembak orang-orang yang berbaring di tanah," kenang Fred.
Setelah
orang-orang tak berdosa menjadi sasaran tembak, beber Fred, tiba-tiba
terdengar suara perempuan yang mengatakan dirinya dan anak-anaknya warga
negara Prancis.
"Aku tahu dia punya anak, karena mereka menangis
dan salah satu teroris mengatakan kepada mereka untuk tutup mulut. Dan
teroris itu bicara kepada sang ibu, 'Kau beruntung kami tidak membunuh
anak-anakmu', dan dia diperintahkan untuk membawa anak-anak berpindah
tempat," sambung Fred.
Tak lama kemudian, ingat Fred, kembali terdengar seorang perempuan yang juga mengaku Prancis.
"Aku punya uang, ambil apa pun yang Anda inginkan. Tapi mereka menembaknya," tuturnya.
Setelah
itu, giliran konter daging Fred yang diberondong tembakan. Rentetan
peluru menembus kios daging tempatnya bekerja dan terdengar suara daging
meleleh, kemudian ia menyadari salah satu peluru itu mengenai bagian
kakinya.
"Aku kemudian menyadari telah tertembak, ketika saya
mulai merasakan dingin, ketika saya merasakan rembesan darah pada
pakaianku dan saat melihat ke bawah ternyata peluru telah merobek
celanaku. Aku ingin berteriak, tapi aku tahu aku tidak bisa bersuara,
aku juga tidak bisa bergerak," kenang Fred tentang saat-saat kritisnya.
Puas
memberondong kios daging, perhatian orang-orang bersenjata itu kemudian
beralih ke barisan botol anggur, wiski dan bir di rak-rak supermarket.
Lalu Fred tak tahu lagi apa yang terjadi, karena pandangannya gelap dan
ia pun tak sadarkan diri.
"Ketika aku tersadar, tenggorokanku
terasa kering dan mencoba menahan rasa sakit. Aku mencoba untuk
bergerak, tapi kaki kiriku yang tertembak tidak bisa digerakkan. Lalu
aku merasakan ponselku bergetar. Istriku menelepon, aku yang sudah
pasrah akan mati mengambil risiko dan mengangkatnya," paparnya.
"Aku
ingat mengatakan padanya 'Aku sekarat, jangan berduka untukku, jangan
beritahu anak kita tetang kematianku sampai setelah ujian sekolah dasar
bulan depan'."
"Aku mengatakan kepadanya untuk tidak menelepon, karena aku sedang sekarat," lanjutnya.
Sesaat setelah Fred memutuskan teleponnya dengan sang istri, ia kembali bisa mendengar kegiatan orang-orang bersenjata itu.
"Aku
mendengar suara seperti mereka sedang membuka kulkas minuman soda,
sebab terdengar juga suara seperti semburan gas yang keluar ketika
pertama kali membuka minuman kaleng atau botol," ucap Fred yang mengaku
melihat sekilas penampakan beberapa penembak.
"Aku bisa melihat
kaki mereka menggantung dari freezer, ketika mereka beristirahat
melakukan pembantaian. Ada lima pasang kaki. Kelima sepatu mereka
berlumuran darah," ungkapnya.
Salah satu pria bersenjata itu juga terdengar masih muda, karena suaranya sedikit feminin.
"Tak
lama kemudian, mereka mulai bersuara: 'Jika kau masih hidup, kami akan
membiarkan kalian pergi' Aku mendengar beberapa wanita bersuara lirih,
aku berharap mereka tidak bersuara lagi, aku berharap mereka bisa
bertahan, karena aku mendengar mereka ditembak dengan pembunuh berdarah
dingin itu," jelasnya.
Setelah beberapa jam terbaring di lantai, Fred kemudian mendengar bahasa Kiswahili dan melihat sepatu tentara.
"Salah
seorang tentara (dari kelompok para penembak) mengatakan dia pernah
melihat begitu banyak mayat. Dia kemudian menggoyangkan kakiku untuk
melihat apakah aku masih hidup. (Setelah itu) Aku mencoba menelepon,
tetapi yang keluar hanya suara parau. Tapi itu sudah cukup," ujarnya.
Fred pun kembali tak sadarkan diri untuk kedua kalinya, hingga bantuan datang dan nyawanya terselamatkan.
"Aku
tidak ingat banyak setelah itu. Aku ingat kakiku menempel ke lantai.
Aku ingat mencengkeram sabuk salah satu petugas yang membawaku keluar,
dan aku ingat wajah-wajah orang-orang melihatku ketika keluar," ucapnya.
Fred kini dirawat di rumah sakit Nairobi, karena luka tembak pada kaki dan lutut dan lututnya.
"Aku
tahu presiden mengatakan mimpi buruk berakhir, tetapi tidak bagiku. Aku
masih belum bisa menerimanya. Itu adalah hari terburuk dalam hidupku,"
keluh Fred.
Setelah 4 hari pengepungan, 67 nyawa melayang, aksi teror berdarah di mal Westgate di Nairobi, Kenya, dinyatakan berakhir. Masa
berkabung nasional selama 3 hari dimulai.
Dalam pernyataannya di televisi, Presiden Uhuru Kenyatta mengatakan
penyekapan mal telah berakhir dan korban tewas berjumlah 67 orang. Termasuk 6 anggota aparat keamanan. Sementara, dari pihak militan, 5 tewas dan 11 tersangka ditahan. (Tnt/Sss)